STANDAR DAN PEDOMAN UNTUK EKSKAVASI ARKEOLOGI

STANDAR

Pengamatan dan perekaman data dalam ekskavasi arkeologi telah diarahkan dengan metode-metode dan praktek-praktek lapangan yang tepat. Hal tersebut dilakukan untuk memenuhi tujuan-tujuan yang telah disepakati sebelumnya dalam sebuah proyek penelitian dan sesuai dengan kode etik, peraturan-peraturan dalam praktek lapangan arkeologi yang telah disepakati, dan peraturan lainnya yang berhubungan dengan kode Institute of Archaeology (IFA). Peraturan-peraturan tersebut akan menghasilkan satu atau lebih laporan yang dipublikasi dan arsip yang mudah diakses, serta tertata.

 

DEFINISI EKSKAVASI

Definisi dari ekskavasi arkeologi adalah kegiatan yang terkontrol, berkaitan dengan kerja lapangan yang berorientasi pada pengamatan, perekaman, dan intrepetasi tinggalan-tinggalan arkeologi, fitur, struktur, dan jika perlu, mengambil artefak, ekofak, dan tinggalan-tinggalan lainnya dari situs yang berada di darat, pesisir pantai (area pasang-surut air) atau bawah air. Perekaman dan pengumpulan data di lapangan dipelajari dan hasilnya dipublikasikan secara rinci sesuai dengan rancangan kegiatan.

 

TUJUAN EKSKAVASI

Tujun dari ekskavasi adalah untuk mengamati/ mengecek sumberdaya arkeologi dalam area tertentu atau situs yang dijadikan objek penelitian, lebih memahami dan menghubungkannya dengan catatan rekaman terakhir tentang tinggalan tersebut, menganalisis, dan menginterpretasikan hasilnya, serta menyebarkannya.

 

PENYEBAB

Ekskavasi mungkin dilakukan:

*    Dalam rangka menanggapi rencana pembangunan yang akan mengancam sumberdaya arkeologi

*    Sebagai bagian dari perencanaan (dalam rangka penyesuaian pedoman perencanaan kebijakan nasional) dan/ atau rencana kebijakan pembangunan

*    Sebagai bagian dari penilaian lingkungan (lihat 3.1.3)

*    Atau diluar dari perencanaan (misalnya pembangunan rumah ibadah, erosi pantai, pertanian, kehutanan, dan manajemen pedesaan, berhubungan dengan sarana publik dan urusan perundang-undangan)

*    Dalam kegiatan penelitian yang tidak secara khusus mengancam sumberdaya arkeologi

*    Sehubungan dengan rencana manajemen dan strategi peringanan oleh swasta, lembaga-lembaga nasional atau internasional

Oleh karena itu, ekskavasi disponsori  atau dilakukan oleh sejumlah orang atau kelompok yang berbeda-beda, termasuk otoritas perencanaan lokal, badan penasehat nasional, instansi pemerintah, pemilik lahan pribadi, pengembang lahan atau agen-agennya, peneliti arkeologi, dll.

PEDOMAN

  1. 1.    PENDAHULUAN

 

1.1.       Pedoman ini mencoba untuk memberikan uraian tentang praktek terbaik dalam pelaksanaan ekskavasi dan laporan yang runut, sesuai dengan kode IFA, khususnya kode etik dan peraturan-peraturan dalam praktek lapangan arkeologi yang telah disepakati. Pedoman ini mencoba untuk memperluas dan menjelaskan definisi umum dalam aturan praktek kerja lapangan dan pelaporan.

1.2.       Standar dan pedoman ini berlaku untuk semua jenis ekskavasi (darat, area pasang-surut, dan bawah air) baik yang dilakukan untuk penelitian akademik, kepentingan lokal, proses perencanaan, proposal manajemen atau proposal lainnya yang dapat mempengaruhi sumberdaya arkeologi di area tertentu.

1.3.       Selain itu, pedoman ini mencoba memperkuat petunjuk-petunjuk yang diberikan dalam pedoman perencanaan nasional yang tepat (lihat lamp. 6), dan cocok dengan pedoman yang dikeluarkan otoritas perundang-undangan saat ini.

1.4.       Terminologi yang digunakan mengikut pada Planning Policy Guidance (PPG) 15 dan 16, serta pedoman yang digunakan oleh Association of Country Archaeological Officers (ACAO 1993), English Heritage (1991), dan Historic Scotland (1996a) dengan penjelasan tambahan yang diperlukan. Pedoman-pedoman ini mencoba memisahkan antara terminologi, biaya, dan administrasi  diberbagai daerah di Inggris.

1.5.       Dokumen ini memberikan panduan dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan di Inggris, Channel Islands, dan Isle of Man. Meskipun pedoman umum ini diberikan, dokumen ini tidak bisa terlengkapi, terutama pada isu-isu legislatip. Arkeolog harus memastikan bahwa mereka tahu pasti tentang peraturan-peraturan daerah di mana mereka bekerja. Arkeolog, badan komisi, dan instansi lainnya mungkin menggunakan pedoman itu untuk mengusulkan dokumen yang lebih relevan seperti yang tercantum dalam lampiran 6, dan dapat diperoleh panduan lebih lanjut dari badan penasehat yang sesuai seperti yang tercantum dalam lampiran 7.

 

  1. 2.    PRINSIP: KODE ETIK DAN PERATURAN-PERATURAN DALAM PRAKTEK LAPANGAN ARKEOLOGI YANG TELAH DISEPAKATI

 

2.1.       Seorang arkeolog dalam melakukan ekskavasi arkeologi harus mematuhi lima prinsip utama yang ada dalam kode etik IFA, dan aturan-aturan yang mengatur prinsip-prinsip tersebut.

 

  1. Para arkeolog harus mematuhi standar etik yang tertinggi dan bertanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan arkeologi.

 

  1. Seorang arkeolog memiliki tanggung jawab terhadap konservasi peninggalan arkeologi.

 

  1. Seorang arkeolog harus melakukan pekerjaannya sesuai dengan pedoman yang ada sehingga didapatkan informasi masa lalu yang terpercaya, dan harus memastikan bahwa informasi itu direkam dengan baik.

 

  1. Seorang arkeolog mempertanggungjawabkan hasil dari kegiatan arkeologi dengan pemberitahuan yang sewajarnya.

 

  1. Seorang arkeolog harus mempertimbangkan saran dari pekerja, rekan, dan relawan dengan baik untuk semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan, termasuk pengembangan karier, kesehatan dan keselamatan, syarat dan kondisi pekerja, serta penyamarataan kesempatan kerja.

 

2.2.       Selanjutnya, peraturan-peraturan dalam praktek lapangan arkeologi yang telah disepakati terutama profesionalisme dalam sebuah kegiatan sponsor atau kontrak kerja, terutama sebagai bagian dari pengawasan proses perencanaan. Hal ini memberikan pedoman dalam profesionalisme dimana lebih dari satu orang atau lembaga yang bersaing untuk pekerjaan yang sama, dan berusaha memastikan kejelasan persyaratan untuk semua pekerjaan, biasanya dengan kontrak.

 

  1. 3.    PROSEDUR

 

3.1.       Identifikasi

 

3.1.1.      Dalam proses perencanaan, penilaian (definisi bisa dilihat di lamp. 1) terhadap daerah yang diusulkan telah dilakukan, biasanya oleh arkeolog perencana atau kurator. Pelestarian peninggalan arkeologis merupakan bahan pertimbangan dalam proses perencanaan dan pihak berwenang setempat cukup dapat meminta informasi lebih lanjut tentang hal-hal arkeologi , sehingga keputusan perencanaan informasi dan wajar dapat diambil (PPG 16 alinea 21, PPG 15 alinea 2.11, 2.15, 2.17 and 3.23, PG Wales alinea 136, NPPG alinea 14). Informasi tersebut biasanya diberikan melalui prosesi penilaian dalam ruangan dan/ atau evaluasi lapangan.

 

3.1.2.      Tergantung pada hasil penilaian lebih lanjut dalam kerja-kerja arkeologi mungkin diperlukan dan persyaratannya ditentukan oleh arkeolog perencana atau kurator (tapi lihat 3.2.8.). Persyaratan ini akan membentuk bagian dari strategi pelowongan dan dapat diimplementasikan dengan kondisi perencanaan atau persetujuan lainnya.

 

3.1.3.      Environmental Assessment (EA) ) berlaku untuk proyek-proyek yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan yang signifikan (EC Directive 85/337, dan seperti yang diterapkan di Inggris melalui berbagai Instrumen Wajib, dll). EA melibatkan penilaian dalam ruangan dan kebanyakan pada evaluasi lapangan. Hasil dari Pengumuman Lingkungan akan berisi rekomendasi sebagai dampak dari berkurangnya sumberdaya arkeologi. Strategi peminimalisir yang disepakati bisa mencangkup ekskavasi arkeologi dan pekerjaan yang terstruktur (telah diselidiki sebelummnya).

 

3.1.4.      Menanggapi perkembangan di luar proses perencanaan, prinsip-prinsip penilaian di atas meja dan/ atau evaluasi lapangan, mengarah pada perincian strategi pelowongan yang sesuai, harus berlaku sama rata.

 

3.1.5.      Dalam konteks penelitian, area(-area) ekskavasi akan diidentifikasi dan dipilih oleh seorang arkeolog berdasarkan aspek atau tema yang berkaitan dengan kepentingan penelitian tertentu. Hal ini dapat mencakup pekerjaan di perguruan tinggi , instansi pemerintah pusat , pemerintah daerah , museum , organisasi independen terpercaya, organisasi amatir dan masyarakat , perusahaan swasta , kelompok atau individu .

 

3.1.6.      Proposal manajemen oleh pemilik tanah swasta atau orang lain juga dapat dipakai dalam ekskavasi, untuk mendapatkan informasi dalam rangka meningkatkan atau melindungi pemahaman dan pengelolaan sumber daya lingkungan atau arkeologi.

 

3.1.7.      Sementara standar diciptakan, arkeolog harus melakukan ekskavasi dengan aturan spesifikasi tertulis atau rancangan kerja (lihat lampiran 2 dan 3) yang disetujui oleh semua pihak terkait, karena pedoman ini adalah alat kerja, sesuai tujuan, dan karena pedoman tertulis tersebut, standar dapat terukur.

 

3.1.8.      Spesifikasi atau rancangan kerja itu sangat penting.

 

3.2.            Laporan-laporan singkat/ garis-garis besar pengerjaan, spesifkasi dan rancangan kegiatan

 

3.2.1.      Tahap persiapan dan perencanaan adalah kunci keberhasilan. Pada tahap ini membahas    tentang rancangan awal ekskavasi.

 

3.2.2.      Sebuah laporan singkat (garis besar pengerjaan di Skotlandia) adalah garis besar dari keadan yang dialami sebagai indikasi dari keperluan pekerjaan. Hal ini tidak memberikan rincian yang lengkap, tetapi menjadi dasar dari perancangan kegiatan.

 

3.2.3.      Dalam spesifikasi dibuat jadwal kerja secara cukup rinci agar dapat diperkirakan, diimplementasikan, dan dipantau. Hal ini cukup untuk menjadi dasar standar yang terukur.

 

3.2.4.      Dalam rancangan kegiatan juga ditetapkan jadwal kerja. Selain itu, rancangan kegiatan dapat mencakup informasi tambahan yang berorientasi pada kontrak .

 

3.2.5.      Garis besar sebuah kegiatan dapat membentuk dasar untuk rancangan kegiatan. Untuk ekskavasi dalam kerangka perencanaan, garis besar dan spesifikasi kegiatan telah disiapkan oleh arkeolog dan akan berikan oleh para pengembang untuk tender yang dipilih dengan mempertimbagkan besarnya biaya rancangan kegiatan. Garis besar kegiatan dibuat oleh pemohon atau agen-agennya tetapi yang penting adalah perecanaan arkeolog yang disetujui dan diterima sebagai rancangan yang sesuai dengan tujuan kegiatan.

 

3.2.6.      Garis besar kegiatan, spesifikasi, dan rancangan kegiatan harus persiapkan oleh orang yang berkualitas dan berpengalaman.

 

3.2.7.      Dalam kasus EA garis besar kegiatan biasanya disiapkan oleh para pengembang yang akan dibahas dalam perencanaan arkeologi untuk merespon tender dan menghitung biayanya dalam rancangan kegiatan.

 

3.2.8.      Proposal ekskavasi tidak didesak oleh ancaman terhadap peninggalan arkeologi yang potensial biasanya akan mengambil bentuk rancangan kerja yang disiapkan oleh penelitian arkeolog, dan disetujui oleh badan komisi. Jika tidak ada komisi eksternal harus ada yang tetap dijadikan rancangan tertulis sehingga validitas dari setiap model atau pertanyaan yang diajukan dapat dinilai dengan tepat, atau supaya persyaratan-persyaratan hukum ( misalnya Scheduled Monumen Consent ) dapat diterapkan dengan baik .

 

3.2.9.      Tidak ada ekskavasi yang harus dilakukan atas dasar laporan-laporan singkat/ rancangan kerja saja, karena tidak bisa mencapai standar yang sesuai , tidak ada yang mengukur kinerjanya.

 

3.2.10.  Spesifikasi atau rancangan kerja harus diartikan ke dalam istilah yang cukup kuat dan rincian yang cukup untuk menghadapi tantangan dalam kepurbakalaan atau hukum yang tak berdasar.

 

3.2.11.  Dalam mempersiapkan spesifikasi atau rancangan kerja para arkeolog harus memberikan pertimbangan penuh terhadap semua metode praktis yang tersedia pada ekskavasi (lampiran 1), dan memutuskan yang paling sesuai dan yang terbaik untuk memenuhi tujuan pekerjaan, mencari nasihat ahli jika diperlukan. Seorang arkeolog mempersiapkan spesifikasi atau rancangan kerja harus memeriksa semua sumber daya yang tepat, sepenuhnya diberitahu tentang peraturan yang relevan, dan mematuhinya.

 

3.2.12.  Dalam perencanaan selanjutnya dan pelaksanaan ekskavasi, dimana tidak ada ancaman langsung terhadap sumberdaya arkeologi, arkeolog harus memastikan bahwa ekskavasi dapat menyebabkan kerusakan minimum atau kehancuran bila dilakukan untuk memenuhi tujuan penelitian dalam proyek.

 

3.2.13.  Rancangan kerja harus mencakup pengumpulan dan identifikasi artefak serta peninggalan ekologis yang dijadikan sampel ( lihat juga 3.3.8 ).

 

3.2.14.  Kemudian kerja lapangan mungkin akan benar-benar dihentikan, asalkan sumber daya yang tersisa dalam kondisi stabil sebelum rancangan kerja terselesaikan, jika sisa-sisa yang penting tersebut ditemukan untuk mengambil keputusan dalam ekskavasi. Dalam keadaan tertentu arkeolog harus menginformasikan kepada instansi yang tepat dan berusaha untuk memastikan bahwa langkah-langkah manajemen yang diambil sesuai (lihat juga 3.3.1).

 

3.2.15.  Spesifikasi atau rancangan kerja harus sesuai dengan proyek yang sedang dipertimbangkan; setiap metode dianjurkan harus menperlihatkan keotentikan dari tinggalan arkeologis yang mungkin akan ditemukan dan tidak seharusnya menjadi tidak fleksibel terlepas dari situs. Oleh karena itu model standar harus dipraktekkan dengan hati-hati. Pertimbangan lainnya termasuk ‘kewajaran’ dalam kaitannya dengan skala ancaman, keberadaan bangunan, penggunaan lahan, nilai uang, dan lain-lain.

 

3.2.16.  Ketika mempersiapkan spesifikasi atau rancangan kerja, pertimbangan harus diberikan untuk masukan pada penyusunan-penyusunan kemungkinan yang sesuai sehubungan dengan prosedur-prosedur lapangan dan juga untuk sumber daya. Dalam banyak kasus tidak mungkin untuk memenuhi tujuan proyek tanpa ukuran yang wajar dari fleksibilitas untuk menerapkan pertimbangan profesional di lapangan. Komisaris dan kurator harus mempertimbangkan bahwa persyaratan yang terlalu kaku mungkin mengakibatkan kegagalan yang tak terhindarkan untuk memenuhi tujuan arkeologis dan non-arkeologis. Penyusunan-penyusunan kemungkinan tidak boleh terbuka tetapi harus benar dimasukan ke dalam ruang lingkupnya dan menperlihatkan pengetahuan sebelumnya dari situs, konteks fisik dari situs dan tujuan utama dari ekskavasi. Kontraktor harus berada dalam posisi untuk membenarkan secara rinci akhir pelaksanaan dari penyusunan-penyusunan kemungkinan.

 

3.2.17.  Spesifikasi atau rancangan kerja harus berisi minimal, elemen-elemen berikut ini:

 

*     Ringkasan non-teknis

*     Situs lokasi ( termasuk peta) dan deskripsi

*     Konteks proyek

*     Latar belakang geologi dan topografi

*     Latar belakang Arkeologi dan Sejarah

*     Mengacu pada Undang-Undang

*     Tujuan umum dan khusus dari lapangan

*     Metodologi lapangan

*     Pengumpulan dan strategi pembuangan artefak dan ekofak

*     Pengaturan untuk konservasi segera artefak

*     Metodologi pasca-lapangan dan persiapan laporan

*     Pembuatan laporan (metode)

*     Publikasi dan diseminasi proposal

*     Hak cipta

*     Deposisi arsip

*     Jadwal

*     Staf

*     Pertimbangan kesehatan dan keselamatan

*     Tata cara pengamatan

*     Rencana kemungkinan (jika diperlukan)

 

3.2.18.  Isi dan pertimbangan yang berbeda antara detail spesifikasi dan rancangan proyek diperkuat pada lampiran 2 dan 3. Laporan-laporan proyek dan spesifikasi juga dibahas secara rinci dalam ACAO (1993) dan Historic Scotland (1996a 2).

 

3.2.19.  Anggapan arkeolog terhadap tender yang secara singkat meliputi laporan-laporan proyek atau spesifikasi dapat dilihat dalam rancangan kerja, merawat hingga mencakup cukup rinci.

 

3.2.20.  Dalam semua kasus, konservator arkeologi lokal (konservator lembaga nasional jika diperlukan) harus diberitahu tentang hasil penelitian lapangan yang dilakukan di daerahnya.

 

3.3.            Penelitian Lapangan

 

3.3.1.      Spesifikasi dan rancangan kerja harus disetujui oleh semua pihak yang terkait sebelum pekerjaan dimulai. Semua pekerjaan harus sesuai dengan spesifikasi dan rancangan kerja yang telah disepakati. Setiap variasi harus dikonfirmasi secara tertulis oleh pihak yang terkait.

 

3.3.2.      Sumber daya yang cukup dan tepat (staf, peralatan, akomodasi, dll ) harus digunakan untuk memungkinkan proyek akan selesai sesuai dalam jadwal dengan sukses dengan standar yang dapat diterima dan mematuhi semua persyaratan hukum. Setiap unsur kemungkinan harus diidentifikasi dengan jelas dan benar. Ini adalah peran arkeolog untuk melakukan pekerjaan menentukan staf yang sesuai.

 

3.3.3.      Semua teknik yang digunakan dengan undang-undang yang relevan dan terbukti cocok untuk tujuan ditetapkan.

 

3.3.4.      Semua staf, termasuk subkontraktor harus sesuai kualifikasi dan pengalaman untuk peran mereka dalam proyek, dan mempekerjakan sejalan dengan peraturan yang relevan dan hukum IFA (lihat lampiran 6). Direktur situs atau menager sebaiknya menjadi anggota dari perusahaan dari IFA.

 

3.3.5.      Semua staf, dan termasuk sub-kontraktor harus diberi penjelasan  yang lengkap akan pekerjaan yang  dilakukan dan harus memahami tujuan dan metodologi

 

3.3.6.      Semua peralatan harus sesuai dengan tujuan yang telah ditunjuk sesuai dengan peraturan kesehatan dan keselamatan ekslusif, dalam rekaman data perlu dicatat bahwa item peralatan harus mempunyai legal dan terkontrol secara hukum. Peralatan menyelam khususnya pada operasi penyelaman dan peraturan kerja  (lihat lampiran 6)

 

3.3.7.      Dalam kerja Arkeologi  yang menggunakan perekaman data diperlukan ketelitian, catatan detail, tertulis, grafis, teknologi , dan fotografi  dalam pengerjaannya.

 

3.3.8.      Pengumpulan data artefak  serta lingkungan sekitarnya harus menggunakan teknik dan metode yang sesuai dengan tujuan yang sudah ditetapkan agar mudah dipahami

 

3.3.9.      Minimal ringkasan laporan situs (lihat English Heritage 1991) atau laporan struktur data (lihat lampiran 1 dan Historic Scotland 1996). Informasi ini harus disampaikan ke tempat perekaman data di situs yang tepat, National Archaeological Record. Penyelesaian pekerjaan lapangan harus dilakukan Pusat Organisai konservasi dalam waktu 6 bulan sesuai kontrak di Skotlandia. Sebuah laporan ilmiah diterbitkan setiap tahun yang dipelopori oleh pusat kegiatan lapangan (Histeoric Scotland 1996f, 2) pemerintah Inggris dan Isle of man. Secara keseluruhan sudah dilakukan publikasi secara rutin

 

3.3.10.  Apabila ekskavasi telah dilakukan sebagai bagian dari proses perencanaan kerja, informasi laporan harus detail dan terperinci sebaik mungkin untuk memungkinkan arkeolog melakukan sebuah perencanaan dalam kondisi yang baik

 

3.3.11.  Kesehatan dan keselamatan merupakan pra syarat untuk sebuah pekerjaan arkeolog dalam perekaman informasi arkeologi. Maka kesehatan dan keselamatan adalah prioritas utama  dalam kegiatan arkeologi, Semua pihak yang terlibat langsung dalam pengerjaan ini harus memiliki kondisi yang baik, Serta memperhatikan  praktek kerja yang aman  sesuai dengan kebijakan dan keamanan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Semua pihak yang terkait sebelum pekerjaan dimulai, resiko yang ditimbulkan dari pengerjaan ini akan dianggung oleh pihak kontruksi. Sesuai dengan peraturan Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (peraturan 1991) serta (desain dan manajemen peraturan 1994) memastikan bahwa mereka semua telah memenuhi persyaratan,  selain itu  harus menjalin hubungan kerja sama dengan kontraktor utama dan mematuhi aturan situs tertentu. Arkeologi mempunyai peran dalam tanggung jawab sebagai supervisor perencanaan untuk panduan lebih lanjut lihat daftar pustaka (lampiran 6)

 

3.3.12.  Ekskavasi Arkeologi harus memiliki persuratan yang lengkap serta perijinan dan mereka  harus bertanggung jawab atas apa yang mereka kerjakan. Memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dalam pekerjaan tersebut.

 

3.4.            Pengkajian pasca ekskavasi

 

3.4.1.      Ada beberapa prosedur di beberapa tempat, tetapi prinsip-prinsip tertentu berlaku untuk semua, tergantung pada skala dan tujuan  dari proyek.

 

3.4.2.      Di inggris penilaian pasca ekskavasi biasanya di lakukan setelah selesainya kegiatan lapangan dan dan menilai potensi untuk analisis lebih lanjut kemudian di publikasikan atau di arsipkan. Untuk menentukan sejauh mana tujuan penelitian asli telaah terpenuhi dan teridentifikasi dari setiap  pertanyaan pertanyaan penelitian yang akan di masukkan dalam rancangan kerja pasca ekskavasi

 

3.4.3.      Penillain dari sebuah laporan pasca ekskavasi harus di produksi dan loporan ini akan menjadi bagian dari arsip proyek. Laporan tersebut harus mencakup pertanyaan kuantitas dan kualitas yang terdapat dari data di dalam arsip situs dan di rekomendasikan pada penyimpanan data danpersyaratan kurasi.  Rincian dari isi laporan penilaian pasca ekskavasi berikan dalam 2 lampiran

 

3.4.4.      Pasca pekerjaan ekskavasi, penilaian harus dilakukan di oleh staf sesuai kualifikasi dan berpengalaman yang hrus di beri tahukan tentang rancangan proyek sebelum memulai pekerjaan. Tingkat penilaian catatan dan bahan harus sesuai dengan tujuan proyek.

 

3.4.5.      Di Skotlandia produk utama dari ekskavasi adalah data dari struktur laporan dengan penilaian yang di hitung dari biaya atau rancangan kerja lapangan dan pasca publikasi harus di publikasikan. Laporan ini tidak memiliki setara tepat di inggris. Salinan laporan struktur data harus diajukan dengan curator arkeologi setempat.

 

3.5.            Rancangan Kerja Pasca Ekskavasi

 

3.5.1.      Penelitian ini bertujuan agar proyek dapat direvisi mengikuti prosedur yang  telah di tentukan yang digunakan untuk penilaian pasca ekskavasi. Bahkan jika  tujuan penelitian tetap tidak berubah, identifikasi  materi perlu di pelajari lebih dalam, memerlukan rancangan proyek.

 

3.5.2.      Dalam memperbaharui rancangan kerja, arkeolog  harus menyadari penelitian masa depan atau kebutuhan manajemen sumber daya bersama-sama dengan persyaratan untuk kurasi jangka pendek dan jangka panjang yang efektif dari dari arsip proyek. Arkeolog harus memastikan bahwa ini di bahas dan di besarkan dengan arkeolg perencanan atau otoritas terkait lainnya.

 

3.5.3.      Rancangan kerja pasca ekskavasi atau dokumen yang setara yang harus menjadi bagian dari arsip proyek

 

3.6.            Analisis

 

3.6.1.      Semua analisis harus sesuai dengan rancangan kerja atau rancangan kerja paska ekskavasi, adapun perbedaan harus dikonfirmasi oleh pihak terkait secara tertulis.

 

3.6.2.      Semua teknik yang digunakan harus terbukti sesuai dengan tujuan, dan mematuhi peraturan yang relevan.

 

3.6.3.      Mereka yang melaksanakan pekerjaan harus sesuai kualifikasi dan berpengalaman, dan sepenuhnya sadar bahwa akan melakukan pekerjaan berdasarkan keperluan rancangan kerja atau rancangan kerja pasca ekskavasi.

 

3.6.4.      Semua data yang dihasilkan sebagai hasil dari tahap analisis harus dimasukkan dalam arsip kegiatan.

 

3.7.            Publikasi dan penyebaran

 

3.7.1.      Format publikasi harus sesuai dengan synopsis dalam rancangan kerja pasca ekskavasi.

 

3.7.2.      Pokok persoalan pada rancangan kerja pasca ekskavasi, laporan publikasi biasanya harus berisi data yang lengkap dan interpretasi pada referensi pada arsip kegiatan boleh diragukan. Demikian pula, laporan biasanya harus mengintegrasikan hasil dari analisi spesialis dengan urutan situs, untuk memastikan bahwa data yang penting tidak diabaikan, dan informatif, serta menghasilkan laporan yang menarik. Bantuan dari penasehat independen dapat meningkatkan kualitas akademik.

 

3.7.3.      Pertimbangan harus diberikan untuk mempublikasikan hasil kegiatan melalui berbagai outlet, dari publikasi arkeologi konvensional, misalnya melihat keadaan situs, panel interpretasi dan mengadakan kuliah,  pertemuan terbuka dan kunjungan sekolah, program radio dan televise, vidio dan publikasi popular dan internet.

 

3.8.            Pemantauan

 

3.8.1.      Dalam menjalankan proyek semua pekerjaan harus dipantau oleh organisasi arkeologi dan jika sudah sesuai oleh lembaga konservasi nasional, perencanaan arkeolog dan badan komisioning atau oleh perwakilan yang ditunjuk. Pedoman secara umum dibawah arahan pengamat dari luar organisasi yang menjalankan pekerjaan, tetapi banyak poin berlaku untuk pengamat internal atau manajer.

 

3.8.2.      Seorang pengamat harus berpengalaman dan berkualitas atau memiliki akses sasaran spesialis yang tepat. 

 

3.8.3.      Pemantauan harus dilakukan terhadap spesifikasi tertulis atau rancangan kerja.

 

3.8.4.      Pengamat tidak mewakili badan komisioning fleksibilitas sangat dibutuhkan dinyatakan dalam kontrak seperti jumlah staf, anggaran atau jadwal.

 

3.8.5.      Semua kunjungan pemantau harus didokumentasikan, dan disepakati oleh masing-masing pihak.

 

3.8.6.      Tidak sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati harus ditunjukkan dengan pemantaun pekerjaan yang dilakukan oleh seorang arkeolog.

 

3.8.7.      Pemantauan harus menyadari tugas profesionalisme dan kewajiban dengan memberikan layanan kesehatan dan keselamatan kerja. Khususnya terhadap laporan kegiatan yang buruk dan tidak aman.

 

3.8.8.      Semua pengaturan pemantauan harus disepakti sejak awal kegiatan; kerja lapangan yang dilakukan oleh seorang arkeolog harus menginformasikan dan memantau serta memberikan pemberitahuan.

 

3.8.9.      Pemantauan dilakuakan setiap melakukan kunjungan.

 

3.8.10.  Setiap biaya pengawasan dan pemantauan dibebankan pada perencanaan arkeolog yang telah  disetujui dan disepakati.

 

3.9.            Aspek, kepemilikan, dan deposisi

 

3.9.1.      Persyaratan terhadap persiapan arsip dan deposisi harus diatasi pada awal kegiatan. Di Skotlandia, semua dokumen tentang ekskavasi harus disimpan di Museum Nasional Skotlandia dan akan diatur dan disalin ke museum-museum lokal.

 

3.9.2.      Usulan penerima museum atau tempat penyimpanan lainya harus berhubungan pada tahap perencanaan kegiatan dan pengaturan untuk deposit dari arsip kegiatan seharusnya secara rinci pada desain kegiatan.

 

3.9.3.      Arsip temasuk semua artefak dan ekofak harus diperlakukan dan dikemas sesuai dengan persyaratan dan pedoman nasional. Perlakuan terhadap tinggalan manusia akan diatur dalam undang-undang yang relevan dan peraturan pemerintah.

 

3.9.4.      Di Inggris, Wales, Irlandia Utara, dan Pulau Man kepemilikan benda termasuk dalam kepemilikan tanah. Pada awal kegiatan arkeolog harus melakukan rencana dan studi lapangan untuk membuat ini jelas.

 

3.9.5.      Perlu dicatat bahwa di Inggris, Wales, Irlandia Utara, Dan Pulau Man terdapat perbedaan laporan dan prosedur deposisi. Arkeolog memberikan nasihat untuk mencari saran yang spesifik pada prosedur ekskavasi sebagai suatu lisensi yang dibutuhkan. Di Inggris, Wales, Irlandia Utara, dan Pulau Man kepemilikan benda termasuk dalam kepemilikan tanah, kecuali dimana hukum-hukm lain yang menolak ini (misalnya Treasure Act 1996, Burials Act 1857). Arkeolog melakukan kerja lapangan atau perencanaan harus membuat ini jelas. Act 1857). Para arkeolog melakukan studi lapangan atau arkeolog perencana harus membuat hal ini jelas pada awal proyek (dalam laporan-laporan singkat/skema proyek, spesifikasi atau rancangan kerja).

 

3.9.6.      Kecuali di Skotlandia, itu adalah tanggung jawab dari arkeolog melakukan penelitian lapangan untuk upaya untuk mendapatkan persetujuan dari pemilik tanah secara tertulis untuk menemukan sumbangan dan deposisi dengan museum penerima .

 

3.9.7.      Kecuali di Skotlandia, dalam kejadian dimana pemilik tanah tidak bersedia, untuk alasan apa pun, untuk menyumbangkan temuan-temuan ke museum penerima yang sesuai, arkeolog melakukan penelitian lapangan harus berusaha untuk memastikan semua artefak dan peninggalan ekologis dicatat,dikemas dan dilestarikan secara aman dimana tepat sebelum transfer ke pemilik, dan lokasi mereka dan kepemilikan dinyatakan dalam arsip situs dan catatan publik. Perlu dicatat bahwa eksplisit (tertulis) izin pemilik diperlukan sebelum memasukkan informasi pribadi seperti dalam catatan publik (lihat antara lain Data Protection Act 1984 ) .

 

3.9.8.      Di Skotlandia, semua benda kuno yang baru ditemukan, apakah logam mulia atau bukan, bisa diklaim sebagai atas nama kerajaan jika pemiliknya tidak bisa dilacak. Hukum berlaku di mana pun, atau propertysiapa , benda mungkin dapat ditemukan. Semua temuan harus dilaporkan kepada Kejaksaan Fiskal dan Ratu dan Bendahara pengingat. Kepemilikan artefak dari ekskavasi yang dilakukan dengan dana atau dikelola oleh Historic Scotland, di mana kerajaan tidak mengklaim mereka, akan diteruskan ke Sekretaris Negara untuk Skotlandia. Kepemilikan kemudian dilewatkan , pada rekomendasi dari Mencari Pembuangan Panel, ke museum yang sesuai ( Historic Scotland 1994) .

 

3.9.9.      Aturan kepemilikan berlaku untuk materi yang telah datang dari sebuah kapal (yaitu semua yang diklasifikasikan sebagai ‘rongsokan’) ditangani di bawah Merchant Shipping Act 1894 (lihat Lampiran 6). Dalam kasusbahan rongsokan Divisi Administrasi Darurat Kelautan Departemen Perhubungan harus dihubungi .

 

3.10.        Pertimbangan Lain

 

3.10.1.  Dianjurkan untuk proyek ekskavasi diatur oleh suatu kontrak atau perjanjian tertulis ,dimana spesifikasi yang telah disepakati atau rancangan kerja dapat disertakan. Kontrak atau perjanjian tersebut harus mencakup referensi ke wilayah studi yang ditetapkan diuraikan pada peta, untuk laporan-laporan singkat/ skema proyek, spesifikasi atau rancangan kerja; untuk kondisi akses, program, metode dan jadwal pembayaran; penyusunan hak cipta dan untuk ditandatangani dan ditanggalkan oleh semua pihak (Darvill dan Atkins 1991).

 

3.10.2.  Kecuali disepakati dalam kontrak, hak cipta dari setiap catatan tertulis, grafis, elektronik atau fotografi dan laporan terletak pada badanberasal dari (organisasi kepurbakalaan melakukan penelitian lapangan dan analisis), yang akanmengizinkan penggunaannya dalam kaitannya dengan proyek khusus dengan klien atau badan yang mensponsori. Perjanjian tersebut harus dicapai dengan badan yang mensponsori pada awal proyek (lihat Lampiran 5).

 

3.10.3.  Bahan disalin atau dikutip dalam laporan harus sepatutnya diakui, dan semua kondisi hak cipta (seperti untuk peta Ordnance Survey dan National Grid) diamati .

 

3.10.4.  Semua aspek publisitas harus disepakati pada awal proyek antara badan komisi

 

3.10.5.  Ahli arkeologi melakukan pekerjaan harus menghormati kebutuhan dari  klien atau badan pengawasan mengenai kerahasiaan, tetapi ahli arkeologi harus menekankan kewajiban profesional nya untuk membuat hasil karya arkeologis untuk masyarakat yang lebih luas dalam  waktu yang layak.

LAMPIRAN 1

TEKNIK EKSKAVASI DAN TEKNIK PEREKAMAN

Standar ini mencakup metode ekskavasi berikut :

*    Tangan–Parit atau area terbuka yang digali

*    Mesin–di lucuti dan digali di area terbuka atau parit

*    Memprediksikan dan menyelidiki.

Sebuah proyek ekskavasi dapat dilengkapi dengan alat-alat penyelidik yang bersifat tidak merusak, seperti :

*    Survei geofisika

*    Penginderaan jauh

*    Survei geokimia

*    Survei pekerjaan tanah

*    Pemindai lapangan ( yaitu observasi dan pemetaan artefak distribusi lain )

*    Survei kedudukan bangunan.

Ada beberapa teknik yang tersedia untuk ekskavasi arkeologi. Dalam banyak kejadian beberapa teknik mungkin berlaku di bawah syarat menyangkut garis besar proyek, dan itu akan diperlukan untuk menjelaskan kriteria pemilihan. Metode yang dipilih harus sesuai dengan tujuan yang ditetapkan dan terkait dengan tujuan penelitian. Dimana penggunaan mesin yang ditetapkan harus di bawah pengawasan langsung dari ahli arkeologi.

Catatan tepat dan penuh ( tertulis, grafis, eletronik, dan fotografi yang sesuai ) harus dibuat untuk semua pekerjaan, menggunakan catatan kondusif dan lembar yang tepat untuk pekerjaan. Cakupan system perekeman yang tersedia, dan banyak pemborong arkeologi telah menghasilkan pedoman untuk mengatur prosedur pencatatan dan memastikan konsistensi internal ( misalnya laporan yang diterbitkan harus memuat ringkasan dari system pencatatan yang digunakan ).

Perekaman sistem yang yang digunakan harus menjadi salah satu yang sesuai kepada kebutuhan dari  proyek tersebut dan harus disetujui oleh pihak yeng terkait mencakup badan yang menerima arsip. Ini harus berkaitan dengan situs dan daerah ekskavasi untuk grid nasional dan artileri survei angka kenyataan, terkait semua rencana dan bagian gambar grid situs, menjaga daftar tertulis dari semua rencana, gambar, foto, khusus temuan, sampal, dll, dan menyusun arsip material, [tahan lama. Semata-Mata mekanik merekam material tidak, bagaimanapun, membebaskan ahli arkeologi dari kebutuhan untuk menginterpretasikan, sejauh mungkin di situs, sifat dan makna deposito, fitur dan situs itu sendiri.

 

 

 

 

 

 

LAMPIRAN 2 :

ISI LAPORAN PENILAIAN PASCA-EKSKAVASI

Laporan penilaian pasca-ekskavasi dibahas secara rinci dalam MAP2 (English Heritage 1991), dan isinya tercantum di sini sebagai pedoman. Tingkat detail yang diperlukan dalam laporan penilaian pasca-ekskavasi akan tergantung pada kuantitas dan kompleksitas data dan sejauh mana faktor-faktor yang diperlukan studi tambahan bahan dalam rangka untuk membentuk penilaian yang dapat dipercaya .

Sebuah laporan penilaian pasca – ekskavasi biasanya akan berisi :

  1. Pendahuluan :

 

*    Lingkup proyek (misalnya situs yang terlibat)

*    Keadaan dan tanggal kerja lapangan dan pekerjaan sebelumnya

*    Komentar pada laporan organisasi

 

  1. Tujuan Asli Penelitian
  2. Ringkasan sejarah yang didokumentasikan dari situs-situs
  3. Pernyataan sementara hasil kerja lapangan
  4. Ringkasan arsip situs dan pekerjaan yang dilakukan untuk penilaian :

 

*    Catatan-catatan situs: kuantitas, proses kerja yang dilakukan pada catatan selama penilaian pasca-ekskavasi

*    Temuan: ringkasan faktual bahan dan catatan, kuantitas, jangkauan, variasi, pelestarian, kerja yang dilakukan selama penilaian pasca-ekskavasi.

*    Materi lingkungan : ringkasan terkini tulang manusia dan hewan, kulit dan masing-masing jenis sampel (misalnya organic penting, dendrochronological, monolit), kuantitas, jangkauan, variasi, pelestarian, kerja yang dilakukan pada material selama penilaian pasca – ekskavasi

*    Catatan dokumenter: daftar sumber yang relevan ditemukan, kuantitas, variasi, intensitas studi sumber selama penilaian pasca – ekskavasi.

 

  1. Potensi Data:

 

*    Penilaian yang diskursif sejauh mana arsip situs mungkin memungkinkan data untuk memenuhi tujuan riset proyek. Kelas yang berbeda dari data yang harus dibahas secara terpadu, dibagi menurut tujuan penelitian proyek.

*    Pernyataan potensi data dalam mengembangkan tujuan penelitian baru, untuk memberikan kontribusi terhadap proyek-proyek lain dan untuk memajukan metodologi.

 

  1. Ringkasan potensi data dalam hal penting lokal, regional, nasional dan internasional.

Informasi tambahan biasanya akan mencakup :

*    Ilustrasi mendukung di skala yang tepat

*    Data yang cukup mendukung, ditabulasi atau dalam lampiran, dan/atau rincian dari isi arsip proyek, untuk memungkinkan penyelidikan kesimpulan yang dinyatakan.

 

LAMPIRAN 3

Laporan Data Yang Terstruktur

Sebuah laporan data yang terstruktur merupakan kebutuhan bagi negara Skotlandia. Isinya merupakan daftar bimbingan. Tingkat kedetailannya yang sangat diperlukan sebagai kuantitas dan kompleksnya suatu data.

Sebuah laporan data yang terstruktur harus terselesaikan setelah setiap pelatihan lapangan. Catatan panggilan harus tersedia untuk menganalisis lebih lanjut dan mendiskripsikan situs. Hal ini termasuk :

  1. Daftar Data

 

*    Mendeskripsikan secara singkat pada konteksnya

*    Data tertulis

*    Mengilustrasikan setiap bagian-bagiannya

*    Data foto

*    Menjelaskan benda temuan yang ada pada konteksnya

 

Daftar ini disalin dan di ingat agar dapat lebih mudah mengalokasikan suatu temuan ke museum dengan mendeskripsikan tentang penjelasan mengapa sampel arkeologi di ambil di tempat lingkungannya berada.

  1. Sebuah narasi dari urutan situs yang dijelaskan

*    Konteks dikelompokkan dan dihubungkan

*    Temuan

*    Interpretasi sementara

*    Perangkaian dan perencanaan sketsa serta diagram yang hanya diperlukan

 

Di skotlandia, laporan data yang terstruktur disertai dengan ringkasan situs yang dimaksudkan untuk mempublikasikan temuan dalam ekskavasi di skotlandia yang diterbitkan oleh Dewan arkeolog skotlandia. Untuk infomasi lebih lanjut lihat Historic Scotland (1996a,9)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Standar dan Pedoman untuk Ekskavasi Arkeologi

 

Diterbitkan oleh

The Institute of Field Archaeologists

University of Manchester

Oxford Road

Manchester M13 9PL

 

Revisi September 1999

 

Penerjemah : Peniel Chandra (F611 11 263)

2013

Sejarah Ekskavasi

Menurut terminologinya, ekskavasi merupakan penggalian yang dilakukan di lokasi yang menyimpan tinggalan-tinggalan purbakala. Ekskavasi dalam arkeologi merupakan teknik kegiatan pengumpulan benda-benda dari dalam tanah untuk mengungkap kehidupan masa lampau.
Ekskavasi dilakukan pertama kali di Herculaneum pada tahun 1738 dan di pompeii pada tahun 1748 yang pada saat itu dibawah pemerintahan Raja Charles III dari Naples, Itali. Kemudian, pada tahun 1768, hasil-hasil temuan arkeologis yang ada di lokasi tersebut yaitu di Herculaneum dan Villa Papyrus dipublikasi. Hal tersebut semakin membuka pandangan masyarakat awam dan kalangan ilmuwan tentang peradaban-peradaban yang menakjubkan pada masa lalu.
Pada abad XVIII, munculah suatu pengembangan dari teori-teori maupun metode-metode yang dipakai para arkeolog sebelumnya, kini dikenal dengan nama Arkeologi Modern. Pencetusnya adalah Johann Joachim Winckleman. Mulailah metode dengan pendekatan empiris dan masuk dalam tataran makna untuk menyimpulkan temuan dan lingkungan sekitar temuan yang mendukung peradaban di tempat tersebut. Metode tersebut dikenal dengan nama Metode Arkeologi Modern.
Thomas Jefferson melakukan Ekskavasi pada tahun 1784. Metode yang ia gunakan memanglah yang terbaik pada masanya sehingga dia dijuluki “Bapak Arkeologi Modern”, tapi, metode tersebut belum begitu terstruktur dan masih bisa dikatakan serampangan.
Napoleon Bonaparte dan tentaranya melakukan ekspedisi lintas samudra pertama dengan mengunjungi Mesir pada tahun 1798 dan berakhir pada tahun 1801. Ekspedisi tersebut melibatkan para ilmuwan, biolog, ahli kimia, dan ahli bahasa. Salah satu krunya bernama Jean-Fracois Champolion menemukan batu rosetta dan berhasil memecahkan kode hierogliph pada batu tersebut. Disinilah awalnya muncul suatu cabang ilmu arkeologi, yaitu Egypthologi.
Ekskavasi pada masa awal tidak begitu sistematis. Tahun 1803, Thomas Bruce melakukan kritik terhadap Pangeran Elgin VII yang mengesahkan sebuah patung sebagai ciri peradaban kuno Yunani tetapi informasi yang terdapat dalam patung tersebut tidak mencirikan hal tersebut (hanya hiasan semata).

Awal abad XIX, ekspedisi arkeologi mulai terorganisir yang dicetuskan oleh Giovani Batista Belzoni. Tokoh-tokoh pada masa itu melakukan hal tersebut semata-mata untuk kepentingan ilmu pengetahuan.

Hiram Bingham III

 

Gambar

Lahir 19 november 1875 di Honolulu. Ia adalah seorang penjelajah, sejarawan, dan politikus Amerika Serikat. Bingham pernah mengajar di Yale University dan pernah menjelajah Machu Picchu pada 1911. Bingham beragama Kristen Protestan. Bingham pernah menjabat sebagai Gubernur Connecticut dan senator Amerika Serikat.

Bingham lahir di Honolulu, Hawaii, Hiram Bingham II (1831-1908) adalah misionaris Protestan awal untuk Kerajaan Hawaii, cucu dari Hiram Bingham I (1789-1869) juga salah satu misionaris. Dia masuk College O’ahu yang sekarang dikenal sebagai sekolah Punahou i Hawaii (1882-1892). Ia pergi ke Amerika Serikat untuk menyelesaikan pendidikannya dengan memasuki Philips Academy di Andover, Massachusetts, dan lulus pada 1894. Ia memperoleh gelar B.A dari Universitas Yale tahun 1898, dan pada tahun 1905 ia memperoleh gelar Ph.D di Harvard Univesity. Sementara di Yale, Bingham menjadi anggota persaudaraan Acacia. Ia menjadi salah satu staff pengajar di Harvard sebagai dosen sejarah dan politik. Kemudian ia menjabat sebagai pembimbing Woodrow Wilson di Universitas Princeton. Pada tahun 1907 di Universitas Yale ia ditunjuk sebagai dosen dalam sejarah Amerika Serikat. Pada tanggal 6 juni 1956, Bingham meninggal di Washington DC dan di kebumikan di Pemakaman Nasional Arlington, Virginia.

Bingham mencapai pangkat kapten dari Connecticut National Guard pada 1916. Pada tahun 1917, ia menjadi salah satu penerbang pada event yang diseleggarakan sekolah militer Amerika Serikat, Aeronautics didelapan universitas untuk memberikan tanah sekolah pelatihan untuk penerbang kadet. Ia menjabat pada bagian Aviation US Signal Corps, Air Service dan mencapai pangkat letnan kolonel. Di issoudun, Perancis, Bingham memerintah Aviation Instruktion Center, layanan udara terbesar dan mengajar ditempat itu. Ia menjadi relawan Air Service dalam mencari korban pasca perang kemerdekan dari angkatan darat Amerika Serikat. Selain itu usaha yang dilakukan oleh Bingham ialah dengan menerbitkan explore dalam layanan udara, karyanya ini diluncurkan pada tahun 1920 oleh Yale University Press.

Selain sebagai aggota militer ialah juga adalah seorang arkeolog, namun bukanlah seorang arkeolog yang terlatih “ujar dirinya”. Ia pernah menemukan sesuatu yang dilupakan dari Kota Inca dari Machu Picchu. Pada tahun 1908 ia pernah menjabat sebagai delegasi Pan American kongres pertama di Santiago, Chili. Dalam perjalanan pulang Bingham yang melalui Peru, anggapan masyarakat meyakinkannya untuk mengunjungi Kota Pra-Kolumbia, Choquequirao.  Bingham senang dengan prospek kota Inca yang belum diselidiki, dan pada tahum 1911 ia kembali ke Pegunungan Andes dengan ekspedisi Peru Yale 1911.  Pada 24 juli, Melchor Artega menyebabkan Bingham pergi ke Machu Picchu, yang sebagian besar sudah dilupakan oleh semua orang kecuali sebagian kecil dari masyarakat yang tinggal langsung di lembah. Bingham kembali ke Peru pada 1912 dan 1915 dengan dukungan dari Yale dan National Geographic Society. Machu Picchu telah menjadi salah satu atraksi wisata utama di Amerika Selatan dan Bingham diakui sebagai orang yang situs ini menjadi diperhatikan dunia, walaupun banyak orang lain yang membawa situs ini ke mata publik. Sebagai penghargaan pengelola situs terhadap Bingham, salah satu jalan yang membawa bus wisata dari Sungai Urumbanba (nama jalan yang ada pada wilaya situs) disebut dengan jalan raya Hiram Bingham. Kemungkinan karakter Indiana Jones dikutip dari Bingham. Salah satu buku yang pernah ditulis oleh Bingham berjudul “Lost City from Inca” menjadi buku paling laris atas publikasinya pada 1948. 

Fort Rotterdam: Wisata Sejarah Makassar yang Hampir Kehilangan Nilai Sejarah

a.  Pendahuluan
Makassar, sebuah kota pesisir pantai yang menawarkan pemandangan yang cukup indah. Tidak hanya menyajikan pemandangan, Makassar memiliki kekhasan daerah yang eksotis dan juga bangunan-bangunan kuno  yang memiliki nilai sejarah, mengingatkan kita pada bangunan-bangunan Eropa di film-film era ‘70an. Salah satunya yaitu peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo berupa benteng pertahanan yang dimodifikasi dengan sentuhan gaya Eropa oleh bangsa Kolonial, kemudian pada masa sekarang menjadi objek wisata, Benteng Ujung Pandang atau Fort Rotterdam.
Benteng Rotterdam atau Fort Rotterdam berlokasi di kelurahan Baru, kecamatan Ujung Pandang atau tepatnya di jalan Ujung Pandang Makassar, Sulawesi Selatan. Benteng Rotterdam sangat mudah dijangkau karena terletak di jalan yang dilalui kendaraan umum, berjarak 500 meter ke arah barat dari lapangan Karebosi.
Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa IX yang bernama I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa’risi’ Kallona. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa XIV Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros, memiliki luas areal 28.595,55 mdengan luas keseluruhan bangunan 11.805,85 m2, Benteng Rotterdam denah dasar segi empat dengan pintu besar di sebelah barat menghadap ke laut dan pintu kecil di sebelah timur. Bagian tembok dinding yang tertinggi 7 m dan bagian yang terendah 5 m, dengan ketebalan dinding 2 meter.Benteng Ujung Pandang ini berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan.  Sekilas dinding-dinding tembok benteng berwarna kehijauan. Mencoba menelusur lebih dekat, mengitari sepanjang tembok mengitari bangunan-bangunan dalam kawasan benteng, ternyata warna kehijauan adalah lumut yang mulai menyelimuti tembok tersebut.
Nama asli benteng ini adalah Benteng Ujung Pandang, biasa juga orang Gowa-Makassar menyebut benteng ini dengan sebutan Benteng Panyyua yang merupakan markas pasukan katak Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa-Tallo akhirnya menandatangani perjanjian Bongayya yang salah satu pasalnya mewajibkan Kerajaan Gowa untuk menyerahkan benteng ini kepada Belanda. Pada saat Belanda menempati benteng ini, nama Benteng Ujung Pandang diubah menjadi Fort Rotterdam. Cornelis Speelman sengaja memilih nama Fort Rotterdam untuk mengenang daerah kelahirannya di Belanda. Benteng ini kemudian digunakan oleh Belanda sebagai pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur.
Sebagian besar gedung benteng ini masih utuh dan menjadi salah satu objek wisata di Kota Makassar. Saat ini, beberapa unit bangunan di dalam Benteng Rotterdam digunakan sebagai Kantor Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Makassar, Museum La Galigo dan Dewan Kesenian Makassar. Di bagian utara, timur dan selatan Benteng Rotterdam dikelilingi oleh bangunan perkantoran maupun perumahan. Bahkan, di dinding bagian timur digunakan penduduk sebagai bagian dari dinding rumahnya. Hal ini menyebabkan beberapa bagian dinding benteng mengalami kerusakan (Asmunandar, 2008 : 144).
Perawatan dan pemeliharaan cagar budaya di kawasan (Benteng Rotterdam) dilakukan dengan pembersihan, pengawetan dan perbaikan atas kerusakan dengan memperhatikan keaslian bentuk, tat letak, gaya, bahan dan/atau teknologi cagar budaya. Penulis mencoba menelisik hal ini dalam UU RI Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, dan memang benar hal inilah yang coba diterapkan dalam Benteng Rotterdam dalam hal pelestarian cagar budaya.
 
b. Pengelolaan Fort Rotterdam
Pentingnya sumberdaya arkeologi merupakan perwujudan fisik dari kebudayaan bangsa tidak luput dari perhatian pemerintah, hal tersebut dapat terlihat dari penegasan UUD 1945 pasal 32 dan dipertegas dengan Tap MPR No. II 1993, tentang bidang kebudayaan yang berbunyi :
 
“…..nilai tradisi dan peninggalan sejarah yang memberikan corak khas pada kebudayaan bangsa serta hasil pembangunan yang mengandung nilai kegairahan, kepeloporan, dan kebanggaan nasional perlu terus digali, dipelihara, serta dibina untuk memupuk semangat perjuangan dan cinta tanah air, perencanaan tata ruang di semua tingkatan harus memperhatikan pelestarian bangunan dan benda yang mengandung nilai sejarah”.
 
Pengelolaan situs Fort Rotterdam adalah salah satu perwujudan fisik dari usaha pelestarian sumberdaya arkeologi yang tidak hanya menyangkut tata ruang arkeologis tetapi juga menyangkut akan  tatanan nilai dalam masyarakat. Oleh karena hal tersebut pengelolaan situs Fort Rotterdam harus dilaksanakan dengan melihat dan mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan baik terhadap lingkungan, kehidupan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat. Pendayagunaan tata ruang lahan situs Fort Rotterdam dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya arkeologi dapat diaplikasikan dalam bentuk taman purbakala sebagaimana yang telah diterapkan pada situs Candi Borobudur (Aldi Mulyadi, 1999) .
Walaupun letaknya di Makassar, Sulawesi Selatan, kawasan cagar budaya Benteng Rotterdam termasuk asset kepemilikan nasional dalam hal ini Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Dimana unit pelaksana di kawasan tersebut adalah Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Makassar yang berkantor di kawasan benteng. Unit inilah yang kemudian secara teknis pelaksanaan diberikan tanggung jawab untuk menjaga maupun mengurus pemeliharaan Benteng Rottterdam.
Lain lagi dengan Museum La Galigo. Museum yang dulunya bernama Celebes Museum didirikan oleh pemerintahan Hindia-Belanda tahun 1938, kini secara resmi berubah nama menjadi Museum La Galigo sejak 1 Mei 1970. Selanjutnya di era otonomi daerah Museum La Galigo berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulsel nomor 166 tahun 2001.
Meski pada 28 Juni 2001 berubah nama menjadi UPTD Museum La Galigo Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan, organisasi tata kerja UPTD Museum La Galigo ini diatur berdasarkan Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 40 Tahun 2009, tanggal 28 Februari sampai sekarang.
Meski demikian, Benteng Rotterdam maupun Museum La Galigo tetap saja dapat dinikmati setiap pengunjung baik lokal maupun mancanegara. Cagar budaya Benteng Rotterdam  tetap diyakini sebagai bagian masyarakat, untuk mensejahterakan dan dinikmati oleh masyarakat. Tugas khusus untuk menjaga harmoni dan pelestarian cagar budaya adalah masyarakat pula.
Sama halnya dengan Museum La Galigo. Bukan hanya sebagai tempat untuk memamerkan peralatan permainan rakyat, peralatan rumah tangga, maupun peralatan kesenian. Tetapi Museum La Galigo ini diharapkan mampu mengambil peran strategis untuk mencerdaskan bangsa, memperkuat kepribadian bangsa dan ketahanan nasional.
 
c.   Fort Rotterdam sebagai Objek Wisata
Faktor pendukung suatu tempat dijadikan objek wisata adalah nilai estetika tempat tersebut. Semakin indah, maka semakin banyak pengunjung. Fort Rotterdam sebagai objek pariwisata memang mempunyai nilai lebih seperti gaya bangunan kuno yang megah dan letaknya yang stratetis karena berada di daerah pesisir pantai sehingga para pengunjung lokal maupun turis selalu ramai berdatangan.
Data tahun 2013 menunjukan adanya peningkatan jumlah pengunjung sebesar 50%, terlebih jika di Fort Rotterdam di adakan acara-acara atau kegiatan-kegiatan tahunan. Pada akhir bulan Juni, tepatnya 25 hingga 29 Juni 2013 di adakan kegiatan Makassar International Writers Festival yang menyedot perhatian masyarakat Makassar, khususnya para sastrawan lokal. Pasalnya, penulis-penulis kenamaan yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia maupun luar negeri berdatangan di Fort Rotterdam. Peningkatan pada pertengahan tahun 2013 memang yang paling menanjak karena juga bertepatan dengan masa liburan sekolah.
Hingga pada hari ini, wisatawan terus berdatangan ke Fort Rotterdam dan jumlahnya semakin bertambah dengan adanya kegiatan ekskavasi di bagian selatan Benteng ini. Kegiatan ini dilaksanakan selama 20 hari dengan mendatangkan tenaga ahli dari Universitas Indonesia, yaitu Prof. Dr. Mundardjito. Ekskavasi yang dilakukan di Fort Rotterdam rupanya menarik minat pengunjung yang rata-rata pelajar. Salah satu pengunjung mengaku bahwa baru kali ini melihat penggalian yang begitu lama dan rumit. “Seperti di film National Geographic, keren!”, tegasnya.
Kalau ditanya, apa itu Fort Rotterdam? Maka kebanyakan masyarakat mengatakan kalau bangunan itu buatan Belanda dan tidak tahu menahu soal Kerajaan Gowa. Nilai lebih yang diberikan untuk Fort Rotterdam sebagai objek wisata tidak berdampak pada pengetahuan masyarakat. Masyarakat yang berkunjung, kadang-kadang hanya datang berhura-hura dan tidak menutup kemungkinan, bagian-bagian gedung dicoret-coreti karena ketidak tahuan masyarakat akan nilai penting suatu bangunan kuno.
Gagasan mengenai nilai penting khususnya bangunan kuno atau lingkungan bersejarah juga dikemukakan oleh James Semple Kerr (1983). Menurutnya, nilai penting bangunan kuno atau lingkungan bersejarah dilihat dari beberapa nilai yakni; nilai sosial, jika sebuah bangunan bermakna bagi masyarakat; nilai komersil, sehubungan dengan peluangnya untuk dimanfaatkan bagi kegiatan ekonomis; dan nilai ilmiah, yang berkaitan dengan peranannya untuk pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan (Asmunandar, 2008 : 167). Nilai komersil dari Fort Rotterdam memang sangatlah tinggi, selain memiliki spot yang indah, ruang yang luas membuat pengunjung merasa betah, sedangkan untuk nilai sosial dan nilai ilmiah Fort Rotterdam hanya berlaku bagi para budayawan dan para sejarawan (kalangan pelajar yang terkait).
Selain itu, pengelolaan situs Fort Rotterdam  yang berorientasi pada pelestarian dan pengembangan pariwisata di Ujung Pandang tentunya tidak lepas dari berbagai masalah khususnya masalah birokrasi struktural menyangkut tentang kebijakan akan pendanaan proyek pengelolaan itu sendiri. Proyek pengelolaan situs Fort Rotterdam tidak akan berhasil tanpa dukungan dari masyarakat luas khususnya mereka yang bergelut dalam birokrasi pemerintah, oleh karena itu koordinasi antar departemen yang terkait sangat penting, bukan hanya terletak pada pengambilan keputusan mengenai masalah pendanaan tetapi yang sangat penting adalah menghindari adanya benturan-benturan kepentingan antar departemen (Aldi Mulyadi, 1999).
 
d.    Penutup
Perkembangan masyarakat ke arah modern semakin membuat kita melupakan sejarah. Perubahan-perubahan yang terjadi pada Fort Rotterdam dari tahun ke tahun membuktikan bahwa masyarakat awam biasanya menganggapnya sebagai objek wisata semata. Soal vandalisme di Fort Rotterdam sama halnya yang terjadi pada situs-situs lainnya, masalahnya adalah kurangnya pemahaman masyarakat mengenai bangunan kuno yang harus kita lestarikan. Semakin lama, tanpa adanya rasa ingin tahu, tentu saja, Fort Rotterdam hanyalah sekedar tempat melepas lelah di akhir minggu.
Selain itu, Pemerintah Kota tidak begitu memperhatikan hal-hal yang seperti ini. Seperti yang penulis kutip dari seorang arkeolog, Iwan Sumantri, beliau mengatakan bahwa negara berkembang biasanya lebih fokus pada permasalahan ekonomi, beda dengan negara maju yang sudah maju perekonomiannya sejak lampau dan pada masa sekarang, mereka kembali kepada kebudayaan mereka.
Harapan penulis tentang Fort Rotterdam, kiranya pengelolaanya semakin baik, begitu juga dengan pelestariannya. Tidak hanya sebatas itu, masyarakat juga perlu tahu nilai penting dari sebuah bangunan kuno agar mereka juga ikut melestarikan sehingga anak cucu kita juga menikmati apa yang kita nikmati saat ini. Bukan hanya keindahannya, tapi nilai sejarah adalah yang paling penting.
 
 
Daftar Pustaka
 
Arsyad, Syachrul. 2013. Benteng Pertahanan yang Bertahan Terhadap Gempuran Zaman. (www.kompsiana.com; akses di Makassar, 15 September 2013; Pukul 22.25 WITA).
Asmunandar. 2008. Membangun Identitas Masyarakat Melalui Kota Kuna MakassarTesis. Yogyakarta: Universitas Gadja Mada.
Id.wikipedia.org. Fort Rotterdam. (akses di Makassar, 15 September 2013; Pukul 22.23 WITA).
Mulyadi, Aldi. 1999. Pengelolaan Situs Fort Rotterdam (Kajian Cultural Resource Management)Skripsi. Makassar: Universitas Hasanuddin.
Taufik, Muhammad. 2012. Kunjungan Wisatawan ke Benteng Rotterdam Meningkat 50 Persen. (www.tribun_timur.com; akses di Makassar, 15 September 2013; Pukul 21.58 WITA).

Flinders Petrie

 

Image

Sir William Matthew Flinders Petrie (3 Juni 1853 – 28 Juli 1942), merupakan seorang egyptolog asal Inggris dan juga pelopor metodologi sistematis dalam arkeologi serta pelestarian artefak. Dia adalah egyptolog pertama di Inggris dan telah melakukan penggalian (ekskavasi) di berbagai situs arkeologi di Mesir. Beberapa temuannya yang paling terkenal antara lain Prasasti Merneptah dan sistem pertanggalan berdasarkan lapisan keramik.

Kehidupan Pribadi

William Matthew Flinders Petrie lahir di Charlton, Kent, Inggris pada 3 Juni 1853, merupakan putra dari pasangan William Petrie dan Anne Flinders. Sejak kecil, Flinders tidak menjalani pendidikan formal seperti kebanyakan anak lainnya. Dia mempelajari semua hal dari ayahnya, mulai dari metode survei yang akurat hingga meyakinkan Flinders untuk menjadi seorang arkeolog. Dia mulai membicarakan tentang arkeologi sejak umur delapan tahun dan pada masa itu, ia sudah mempelajari tiga bahasa yaitu, Prancis, Latin, dan Yunani.

Petrie menikah dengan Hilda Urlin pada 26 November 1896 dan dikaruniai dua orang anak yaitu, John Petrie dan Ann Petrie. Pada awalnya, mereka tinggal di Hampstead namun saat ia pensiun dari jabatan profesor pada tahun 1933, ia pindah dan menetap di Yerusalem.

Pada tahun 1942, Petrie meninggal dunia dan menyumbangkan kepalanya kepada Royal College of Surgeons, London, dan tubuhnya dimakamkam di Kompleks Pemakaman Mt. Sion. Saat itu, tengah terjadi Perang Dunia II sehingga kepala Flinders tertahan di tengah jalan. Kepalanya disimpan dan tidak pernah dipublikasikan oleh pihak Royal College of Surgeons, London.

Karir dalam Arkeologi

Pada masa remajanya, Petrie melakukan survei di monumen-monumen prasejarah di Inggris untuk memahami posisi geometrisnya (19 survei yang paling akurat adalah di Stonehenge). Pada awal tahun 1880, Petrie pergi ke Mesir untuk melakukan survei di Piramida Giza, menyelidiki bagaimana piramida ini dibangun. Hasil survei dan analisis tentang arsitektur Piramida Giza yang dipublikasikan adalah metodologi dan keakuratan survei, sangkalan terhadap teori-teori sebelumnya mengenai Piramida Giza, dan data-data terbaru mengenai Piramida Giza pada masa itu. Pada surveinya, ia sangat terkejut dengan kerusakan-kerusakan yang dialami oleh monumen-monumen piramida dan mumi. Dia menggambarkan Mesir seperti “rumah yang hancur” dan ia merasa harus menyelamatkan apa yang ada agar pengetahuan tentang piramida tidak hilang begitu saja.

Pada akhir tahun 1880, Petrie kembali ke Inggris dan menulis sejumlah artikel terkait surveinya di Mesir. Ia juga bertemu dengan Amelia Edwards, seorang jurnalis yang tertarik dengan Mesir dan bersedia membiayai ekskavasi Petrie selanjutnya di Mesir.

Pada bulan November 1884, Petrie memulai ekskavasinya di Mesir. Ia melakukan penggalian di situs baru di Tanis dengan bantuan 170 pekerja. Walaupun Petrie adalah seorang yang amatir, ia sangat dikagumi oleh ahli-ahli yang lebih senior karena menghapuskan sistem mandor-buruh pada penggaliannya sehingga pekerja bisa bekerja tanpa tekanan.

Pada akhir penggalian di Tanis, ia memutuskan untuk keluar dari proyek dan pandanaan dan tetap tinggal di Mesir. Ia pergi ke situs pemakaman di Fayum dan menemukan makam yang utuh kemudian mengirimkan sebagian dari hasil dokumentasinya ke Egyptian Departemen of Antiquities. Namun pada akhirnya, Petrie marah akibat pengelolaan barang antik yang buruk dan menuntut agar barang-barang antiknya dikembalikan dan dipindahkan ke Museum Inggris.

Pada tahun 1890, Petrie melakukan ekskavasi di Tell el-Hesi, Palestina. Disana, ia menemukan kompleks pemakaman di Wadi al-Rababah, Yerusalem, dari zaman besi dan periode awal Kekaisaran Romawi. Pada tahun 1891, ia bekerja di Kuil Aten di Tell el-Amarna dan menemukan struktur trotoar taman seluas 300m2 dan beberapa relief.

Pada awal 1896, Petrie dan timnya melakukan ekskavasi di sebuah kuil di Luxor, kompleks pemakaman Amenhotep III. Setelah penggaliannya, ia menemukan dua kamar mayat. Petrie terus menggali hingga akhirnya ia menemukan sebuah prasasti yang memuat tentang pembuatan kuil oleh Merenptah, putra dari Ramses II. Selain itu, prasasti ini menggambarkan bagaimana Amenophis III dalam pertempuran antara Nubia dan Siria dan juga prestasi Amenhopis III atas pembangunan kuil tersebut. Proses penerjemahan prasasti ini dibantu oleh seorang egyptolog muda asal Jerman bernama Wilheim Spiegelberg.

Pada tahun 1923, Petrie dianugerahi gelar bangsawan atas jasanya dalam kegiatan arkeologi dan egyptologi oleh Inggris. Petrie kemudian berfokus pada situs-situs di Palestina pada tahun 1926. Dia mulai melakukan ekskavasi diberbagai situs di sebelah barat daya Palestina, termasuk Tell el-Jemmeh dan Tell el-Ajjul.

Perekaman dan studi artefak memakai standar baru dalam arkeologi. Petrie menghubungkan gaya pada tembikar dengan periodenya, ia juga orang pertama yang menggunakan seration pada Mesir Kuno, sebuah metode untuk mengetahui kronologi sebuah situs. Flinders Petrie adalah sorang mentor dan pelatih bagi para egyptolog, salah satunya adalah Howard Carter.

Petrie menjadi sosok yang terkenal atas pemikirannya yang pro-eugenika dan opini yang obyektif mengenai topik-topik sosial yang ada seperti perdebatannya dengan egyptolog Museum British, E.A. Wallis Budge. Budge beranggapan bahwa agama di Mesir pada dasarnya identik dengan agama yang ada di timur laut dan tengah Afrika. Tetapi, Petrie menganggap bahwa kebudayaan Mesir Kuno berasal dari Kaukasia yang pada masanya menaklukan Mesir dan memperkenalkan sistem pemerintahan kerajaan/ Firaun.

Petrie adalah seorang pro-eugenika yaitu percaya bahwa tidak ada yang namanya inovasi budaya atau sosial masyarakat, melainkan perubahan sosial yang ada merupakan hasil dari perubahan biologis, seperti migrasi atau penaklukan oleh bangsa asing yang menyebabkan keberagaman ras.

Flinders Petrie juga seorang pemikir anti demokrasi Inggris dan seorang mukmin yang berdedikasi dalam superioritas Bangsa Utara atas Bangsa Latinate dan Selatan. Ia mengatakan bahwa pendapat Budge tentang orang Mesir Kuno adalah Bangsa Afrika sangat tidak ilmiah. Karya-karyanya yang pernah dipublikasikan antara lain: Tel el-Hesy. London: Palestine Exploration Fund; “The Tomb-Cutter’s Cubits at Jerusalem,” Palestine Exploration Fund QuQuarterly, 1892 Vol. 24: 24-35.

Daftar Pustaka 

en.wikipedia.org. akses di Makassar, 7 September 2013; pukul 00.37 WITA

Hirst, Kris. 2013. Sir William Flinders Petrie (1853-1942). archaeology.about.com. (akses di Makassar, 7 September 2013; pukul 00.44 WITA)